Keynote Speech dari:
Agung Firman Sampurna (Ketua BPK-RI 2019-2022)
Disampaikan pada Seminar IGRC Seri 1
17 Febuari 2022

Konsep GRC dipopulerkan oleh Open Compliance and Ethics Group (OCEG), dimana secara konsep merupakan satu pendekatan terpadu dan holistik yang diterapkan organisasi untuk mengitegrasikan tata kelola, manajeman risiko, dan kepatuhan organisasi. GRC sendiri berkaitan erat dengan Good Corporate Governance (GCG) dan tidak dapat dilepaskan dari aspek kepatuhan. Merujuk pada definisi GCG dari berbagai lembaga, seperti OECD, World Bank, The Cambridge Comitee dan KNKG, dapat disimpulkan bahwa GCG adalah komitmen, aturan, serta praktik tata kelola secara sehat dan beretika yang mengatur hubungan antara shareholders dengan stakeholdersuntuk menciptakan nilai tambah bagi pencapaian tujuan organisasi. Penekanan pada kata “beretika”, merujuk pada peraturan perundang-undangan. Untuk itu, organisasi menerapkan sistem manajemen kepatuhan dan pengendalian intern.

Mengacu pada konsep GRC, proses bisnis organisasi harus dilakukan secara terintegrasi, risiko harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan, dan terwujud dalam budaya sadar risiko, serta harus berjalan dalam koridor perundang-undangan dan selalu menjaga integritas. Ultimate Goals penerapan GRC adalah menciptakan dan meningkatkan nilai organisasi secara berkelanjutan, tangguh, adaptif, mampu berakselerasi dengan dinamika perubahan lingkungan eksternal.

Di Indonesia, kesadaran mengenai governance dan manajemen risiko, muncul akibat krisis sekitar dua dekade lalu, akibat kurang diperhatikannya governance dalam dunia bisnis dan pemerintahan. Disaat yang sama, perhatian akan compliance meningkat akibat kesadaran bahwa kepatuhan lah yang menyebabkan terjadinya krisis. Berbagai reformasi pun dilakukan, baik dari tata kelola negara, maupun keuangan. Salah satu program utama untuk memperbaiki tata kelola pemerintah atau good governance adalah reformasi birokrasi di mana selama periode 2017 hingga 2019 indeks reformasi birokrasi di level kementerian dan lembaga dapat dikatakan cukup stabil. Namun, di level Pemerintah kabupaten kota menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 62,83 tahun 2017 menjadi 53,405 tahun 2019. Indeks reformasi birokrasi ini menggambarkan tingkat kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional dengan mengukur dimensi Pemerintah yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik dan kapasitas, dan akuntabilitas kinerja informasi.

Kesadaran akan pentingnya governance semakin mengemuka dan menjadi tuntutan baru yang disuarakan oleh para pemangku kepentingan tidak hanya di sektor swasta namun juga di sektor pemerintah. Kehadiran Komite Nasional Kebijakan Governance serta KPU hingga KPK dan penataan kelembagaan pemerintah dapat dimaknai sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dalam perkembangannya.

BPK sebagai lembaga pemeriksa yang bebas dan mandiri mempunyai mandat untuk melakukan pemeriksaan keuangan yang terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu melalui pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK memiliki peran strategis bahkan dalam mendorong perbaikan dan pengembangan tata kelola, manajemen risiko, serta kepatuhan organisasi sektor publik. Meningkatkan perannya tidak saja sebatas oversight namun juga mengembangkan peran insight dan foresight. Secara garis besar, pemeriksaan berfokus pada aspek efektivitas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kondisi pandemi termasuk kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan terutama dalam situasi darurat pandemic.

Pemerintah perlu memberikan perhatian pada 5 tema penting agar dapat mewujudkan pemerintah yang tangguh dan siap untuk menghadapi kemungkinan krisis di masa yang akan datang. Kelima tema tersebut adalah:

  1. Reformasi kesehatan
  2. Reformasi pajak dan kesinambungan fiskal
  3. Visi dan kepemimpinan
  4. Transformasi digital dan tata kelola, dan
  5. Kualitas sumber daya manusia.

BPK memandang salah satu masalah utama dalam penerapan SPIP (Sistem Pengendalian Internal Pemerintah) yang merupakan payung hukum dalam pengelolaan risiko sektor publik adalah kelemahan dalam penerapan unsur penilaian risiko. Menjawab tantangan dan kekurangan tersebut, pemerintah secara eksplisit saat ini mencanangkan manajemen risiko seabgai salah satu program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Saat ini acuan kebijakan dan sistem manajemen risiko di sektor publik cukup beragam, beberapa lembaga mengadopsi beberapa standar dan best practices. Dan hal tersebut memunculkan tantangan tersendiri dalam penerapannya. Untuk itu, BPK menggagas paradigma baru yang disebut dengan re-inventing manajemen risiko sektor publik atau re-inventing kerangka nasional manajemen risiko sektor publik dengan mengusulkan 5 paradigma baru, yaitu:

  1. Participatory risk management and engaging rather than frightening.
  2. Digital transformation for risk management encourages digitalization into internal control over financial reports.
  3. Culture-oriented risk management from compliance to culture building.
  4. Collaboration-based risk management, collaborative governance.
  5. Graduality Sustainable Risk Management.

Untuk membumikan 5 paradigma baru tersebut, gagasan mengenai Kerangka Nasional Manajemen Risiko (KNMR) sektor publik nasional dapat dituangkan dalam pedoman yang bisa digunakan oleh sektor publik. Pedoman tersebut bisa digunakan untuk menyusun, mengembangkan, dan menerapkan kebijakan manajemen risiko di lingkungan organisasi. Penyusunan KNMR merupakan sinergi dan kolaborasi antar berbagai institusi sektor publik atau collaborative governance. Penyusunannya dilakukan oleh APIP, dalam hal ini oleh BPK selaku pembina APIP selanjutnya perlu dirinci gagasannya oleh BPK dan KPK yang merupakan anti-corruption agencies.

Konsep reinventing manajemen risiko sektor publik ini merupakan bagian penting dari upaya menciptakan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan yang terpadu atau integrated GRC. GRC terintegrasi mengarah pada pencapaian tujuan organisasi tata kelola dan mitigasi risiko serta memastikan tindakan berintegritas dalam tata kelola organisasi. Manajemen risiko melibatkan peran multiaktor atau multisektor secara kolaboratif dan terintegrasi yang akan mengarahkan organisasi mewujudkan tata kelola yang tangguh dan berkelanjutan serta mampu bertahan dari segala krisis dan ketidakpastian di masa yang akan datang. Sejalan dengan strategi foresight yang telah dikembangkan oleh BPK, pada saat dan pasca pandemi adalah momen yang tepat untuk melakukan reinventing manajemen risiko dalam rangka memperkuat GRC yang terintegrasi.

#roadtogrcsummit2022 #grcsummit